Tampilkan postingan dengan label AGRITECHNOLOGY. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label AGRITECHNOLOGY. Tampilkan semua postingan

Kamis, 01 Juli 2010

AERO - HYDROPONICS TECHNOLOGY OF THE FUTURE

Aero-Hydroponics The Method of the Future by Lawrence L. Brooke

Aero-hydroponic systems can be built using quite a variety of materials and in numerous design configurations. The Ein Gedi "Mini Unit" which was used at UCD for dissolved oxygen studies is a stand-alone module which supports four plants in 10 liters of nutrient solution.
An electric motor mounted on the top of the unit spins a nutrient sprayer, which lifts nutrient solution and sprays it onto the "aerial roots." Additionally, the rotation causes the nutrient within the unit to stir, moving it constantly over the submerged roots.
Large-scale aero-hydroponic systems follow the design of the commercial installation at Ein Gedi. These commercial systems consist of "canals" or growing chambers with plant sites on top. A pump provides the pressure to drive a system of sprayers to supply the aerial roots, while the submerged roots hang into the flowing nutrient in the canal.
Both of these systems share fundamental characteristics, which define the aero-hydroponic method. The plants are supported above the flowing nutrient. The roots hang down through an air gap in which nutrient is sprayed, then into the moving nutrient solution below the air gap. The nutrient sprayed through the air gap is not so much intended to feed the plant, but rather to infuse oxygen into the nutrient solution wherein the feeder roots remain constantly submerged. It is these submerged roots in oxygen rich nutrient that provides most of the nutrition and oxygen for the plant. Selengkapnya download disini

A Prototype Recirculating Aquaculture-Hydroponic System by Donald M. Johnson and George W. Wardlow, Associate Professor

A prototype recirculating aquaculture-hydroponic system was developed to illustrate one of the many engineered production systems used in modern agriculture. The system provides an artificial, controlled environment that optimizes the growth of aquatic species and soil-less plants, while conserving water resources. In this system, fish and plants are grown in a mutually beneficial, symbiotic relationship.
Suggestions for using the system to integrate the teaching of math, science and technology principles are provided.
Selengkapnya download disini

Kamis, 27 Mei 2010

Vermicompost pada Sampah

Pengaruh Populasi Cacing Merah (Lumbricus rubellus) terhadap Kualitas Kompos pada Pengomposan Sampah Organik, Moh. Thobroni, Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Jember
Pencemaran lingkungan pada umumnya disebabkan oleh sampah domestik sebagai refleksi dari populasi penduduk yang padat. Pada dasarnya sistem penanganan sampah seharusnya dilakukan dengan cara yang tepat dan bijaksana. Pengomposan sangat menguntungkan karena mempunyai kapasitas daur ulang 30-50% dari berat total. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui interaksi populasi dan macam media kompos terhadap dinamika populasi cacing merah dan mutu kompos kascing.
Penelitian dilaksanakan di rumah kaca Politeknik Pertanian Jember pada bulan Januari-Agustus 2005. Rancangan penelitian menggunakan RAL Faktorial dengan dua faktor dan tiga ulangan. Faktor pertama adalah jenis sampah meliputi sampah kota (S1), sampah daun (S2), sampah jerami (S3). Faktor kedua adalah populasi cacing merah meliputi tanpa populasi cacing (C0), populasi cacing 100 ekor (C1), populasi cacing 200 ekor (C2). Penelitian dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap analisis pertumbuhan & perkembangan cacing merah dan tahap analisis kualitas mutu kompos kascing.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dinamika populasi cacing merah dalam satu kali pengomposan menunjukkan tingkat reproduksinya hingga 200% dari populasi awal yaitu S1C1 (254 ekor), S2C1 (167 ekor), S3C1 (280 ekor), S1C2 (318 ekor), S2C2 (253 ekor), S3C2 (424 ekor). Perlakuan populasi cacing merah 200 ekor dan media kompos sampah jerami menghasilkan mutu kompos kascing yang paling baik. Rangking mutu kompos kascing yang dihasilkan secara berurutan adalah perlakuan S3C2, S1C2, S3C1, S2C2, S2C1,S1C1,S2C0, S3C0 dan S1C0.
Blog Advertising

Rabu, 12 Mei 2010

Inokulasi Mikoriza AMF pada Kelapa Sawit

Mekanisme peningkatan pertumbuhan kelapa sawit bermikoriza khususnya yang disebabkan aktivitas pelarutan P anorganik yang terfiksasi melalui pelarutan oleh asam organik atau hidrolisis P organik oleh aktivitas fosfatase belum dilaporkan. Percobaan ini bertujuan menetapkan aktivitas fosfatase dan produksi asam organik di rhizosfer dan hifosfer, bibit kelapa sawit bermikoriza dan tidak bermikoriza. Kelapa sawit ditumbuhkan selama 26 minggu pada tanah masam Cikopomnayak steril pada pot berdiameter 20,5 cm yang terbagi atas tiga daerah, ruang tengah untuk pertumbuhan akar (rhizosfer) dan dua daerah di sebelahnya untuk pertumbuhan hifa (hifosfer). Penyekatan pot menggunakan filter stainless steel berukuran lubang 0,25 mm.
Semua daerah dipupuk P pada konsentrasi 300 P mg kg-1 tanah baik dalam bentuk organik (Na-phytate) maupun anorganik (NH4HPO4) Inokulum CMA merupakan hasil perbanyakan dengan sistem kultur pot menggunakan inang Pueraria phaseoloides untuk Acaulospora tuberculata sedangkan untuk Gigaspora
margarita menggunakan inang jagung. Inokulum CMA berupa propagul campuran pada dosis optimum. Percobaan dilakukan untuk menguji sembilan perlakuan yang merupakan kombinasi antara inokulasi CMA (tanpa, A. tuberculata, dan G. margarita) dan sumber P (tanpa P, anorganik P NH4HPO4, dan organik P Na
phytate). Rancangan percobaan ialah rancangan acak lengkap faktorial dengan tiga ulangan untuk masing-masing perlakuan. Di hifosfer aktivitas fosfatase asam lebih tinggi daripada fosfatase alkalin, sedangkan di rhizosfer aktivitas fosfatase alkalin lebih tinggi dibandingkan dengan aktivitas fosfatase asam. Aktivitas fosfatase asam di rhizosfer bibit kelapa sawit yang diinokulasi A. tuberculata nyata lebih tinggi dibandingkan
dengan bibit yang tidak diinokulasi. Aktivitas fosfatase asam dan fosfatase alkalin sedikit lebih tinggi dengan inokulasi CMA. Sebaliknya, produksi asam organik antara bibit yang diinokulasi dan bibit yang tidak diinokulasi tidak berbeda nyata. Tampak bahwa simbiosis CMA dengan kelapa sawit lebih meningkatkan
mineralisasi P organik dan kurang meningkatkan pelarutan P anorganik...(Widiastuti. et all, 2003)
Selengkapnya download disini
Your Ad Here